Penulis : Lukluul Magnun (Guru TK YBIS)
Masalah anak enggak mau makan rasanya dialami hampir setiap orang tua. Mogok makan atau biasa dikenal dengan istilah “Gerakan Tutup Mulut” (GTM) ini umumnya dialami anak-anak yang sudah dikenalkan makanan padat. kalau anak GTM hanya beberapa hari, orang tua tentu tak perlu khawatir. Tapi kalau sampai berminggu-minggu, sudah saatnya Bunda mencari penyebab dan solusinya.
Anak-anak yang mogok makan dalam jangka lama pasti berpengaruh pada nutrisinya. Pengaruh GTM yang berkepanjangan, baru akan terlihat efek sampingnya setelah 6 bulan kemudian. Namun, Bunda jangan tunggu hingga 6 bulan untuk memeriksakan anak ke dokter untuk mengatasi GTM tersebut.
GTM tidak selalu menyebabkan anak terlihat kurus. Sebagian anak-anak tetap terlihat berisi meskipun mogok makan dalam waktu lama. Tapi, tahukah Bunda, anak yang terlihat gemuk belum tentu gizi mikronya tercukupi. Ditemui dalam beberapa kasus, anak gemuk malah kadar sel darah merahnya (hemoglobin) dalam darah rendah. Ini mengindikasikan anak kekurangan zat gizi mikro yaitu zat besi. Nah, saat anak mengalami GTM berkepanjangan, pahami beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Sehingga dapat mencari solusi yang tepat untuk menanganinya.
Penyebab GTM
Anak melakukan mogok makan alias GTM biasanya dipicu beberapa faktor, di antaranya berikut ulasannya:
1. Anak bosan
Di era pandemi COVID-19 ini, anak lebih banyak di rumah. Sehingga membuat kesempatan bermain di luar rumah jadi terbatas. Hal ini membuat anak bosan, yang ujung-ujungnya bisa merembet ke berkurangnya nafsu makan.
Anak perlu keluar dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Namun sayangnya, saat pandemi interaksi fisik justru dilarang. Hal ini bisa membuat rasa bosan anak makin bertambah. Sehingga anak-anak tidak tertarik untuk menyentuh makanannya.
Saat kita bicara GTM, erat kaitannya dengan kesulitan makan. Misalnya, ketika anak masih aktif menyusu dan mengalami GTM, orang tua bisa saja tanpa sadar merusak aturan pemberian makan.
Kok bisa? Saat anak-anak enggak mau makan akhirnya Bunda berpikir lebih baik memberinya susu, daripada perut dibiarkan kosong. Padahal cara semacam ini bisa merusak aturan makan (feeding rules). Akibatnya, konsentrasi atau dominasi anak hanya ke ASI meskipun sudah disodori berbagai makanan.
Ada terminologi atau istilah yang tidak asing di telinga ibu-ibu, yaitu “Picky eater”. Sebenarnya untuk anak usia 1-3 tahun, menjadi picky eater itu masih normal. Kenapa masih normal? Anak yang masuk dalam golongan picky eater, hanya tidak mau makanan satu kelompok saja. Artinya, masih ada jenis makanan lain yang dimakan oleh anak.
Misalnya, di kelompok karbohidrat, anak tidak mau makan nasi kemudian membuat ibu cemas. Padahal, tidak ada aturan kalau kita harus makan nasi setiap harinya. Nasi masih bisa diganti dengan sumber karbohidrat lain seperti jagung, sagu, roti.
Anak tetap dapat tumbuh baik dan cerdas. Ingat, Bunda, yang tidak boleh adalah ketika tidak makan karbohidrat sama sekali. Pemberian susu terus-menurus saat anak GTM juga bisa mengakibatkan picky eater. Susu bukan lagi pelengkap, melainkan masuk ke dalam kelompok menu 4 bintang. Sehingga apabila hanya diberikan susu saja, akan timpang dengan tiga kelompok lainnya yaitu karbohidrat, protein, buah, dan sayuran.
Berbeda dengan picky eater, ada pula anak yang tidak mau makan karena masuk dalam golongan “Selective eater”. Ini yang harus Bunda dan Ayah waspadai, karena sudah tidak normal.
Selective eater adalah kondisi ketika anak hanya mau makan satu kelompok saja. Misalnya, mau makan protein saja atau karbohidrat saja. Padahal, untuk menentukan kualitas makanan yang cukup, seorang anak harus mengonsumsi empat kelompok. Kelompok karbohidrat, protein, sayur dan buah, susu.
Penyebab selective eater pun bermacam-macam, Bunda. Ada gangguan perkembangan, misalnya pada anak autistik, yang menolak makan kelompok protein karena bisa menimbulkan kekacauan pada kondisi tubuhnya.
Atau, anak-anak yang pernah mengalami trauma makanan tertentu. Dapat terjadi pada anak yang tidak suka makanan tertentu tapi dipaksa-paksa. Namun, ada juga yang menolak makan akibat adanya gangguan organ. Seperti gangguan menelan akibat ada masalah di oromotorik. Dalam kondisi ini, organ menelannya jadi lemah karena tidak dilatih untuk mengonsumsi protein. Seperti mengunyah daging dan lain sebagainya.
Penelitian menunjukkan selera makan orang tua berpengaruh pada menu yang disajikan ke anak. Sebaiknya, orang tua juga memahami selera makan anak ya. Bisa jadi, selera makan anak sangat berbeda dengan Ayah dan Bunda.
Kesukaan makanan anak bukan dari perspektif orang tua. Baik orang tua, ataupun anak punya food preference sendiri. Jadi, belum tentu saat Bunda suka ayam goreng, si kecil akan menyukai makanan yang sama.
Harus dipahami bahwa orang tua atau pengasuh punya tugas masing-masing. Sedangkan proses makan ini melibatkan interaksi antara si pemberi makan dan penerima makan.
Anak sendirilah yang menentukan seberapa banyak porsinya dan kapan dia mau makan. Sementara orang tua dan pengasuh, berperan sebagai pemberi makan yang menyesuaikan kebutuhan anak. Ini harus dipahami betul, agar orang tua tidak menyamakan diri dengan anak.
Untuk memberikan makanan yang baru, orang tua harus berhati-hati agar tidak terjadi “Neophobia”. Anak bisa saja takut menelan makanan baru karena belum pernah mencobanya. Contohnya saat melihat makanan berwarna merah, anak bisa saja punya persepsi makanan itu adalah cabai. Anak yang tidak suka pedas akan menolak makanan tersebut. Atau baunya yang tidak enak sehingga memicu anak melakukan GTM.
Untuk menghadapi anak dengan neophobia ini, orang tua harus memberikan contoh dulu untuk mengurangi ketakutan anak. Namun, menjadi catatan penting agar jangan memaksa anak untuk terus makan kalau terjadi mual dan muntah. Lebih baik hentikan, jangan sampai anak trauma.
Setelah Bunda dan Ayah mengetahui berbagai macam penyebab GTM, kini saatnya mencari solusi yang tepat ya. Penanganan anak mogok makan, harus benar-benar disesuaikan dengan kondisinya agar tak membuat trauma karena merasa dipaksa makan.
Apa saja strategi mengatasi GTM pada anak? Aturan pemberian makan pada dasarnya dikelompokkan dalam tiga komponen yang akan dijelaskan secara lengkap di bawah ini :
1. Jadwal yang teratur
Pertama, Bunda harus membuat jadwal makan yang teratur. Jangan tunggu anak sampai menjerit-jerit karena kelaparan, baru diberi makan.
Anak di atas satu tahun harus mendapat makan utama sebanyak 3 kali, 2 kali makan kecil, ditambah dengan ASI apabila mencukupi. Atau bisa juga ditambah susu 2-3 kali sehari. Namun, jangan berlebihan juga. Jangan sampai karena ingin mengejar kenaikan berat badan, Bunda memberi makan anak setiap satu jam sekali.
2. Lingkungan yang menyenangkan
Komponen kedua adalah menciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk mempengaruhi selera makan anak. Misalnya, Bunda sajikan makanan dalam piring yang berbentuk lucu dan warna-warni. Sehingga anak merasa lebih nyaman dan senang saat makan.
Selain itu, ajak anak makan bersama-sama dalam satu meja. Bunda boleh membiarkannya makan sendiri, dan dekatkan makanannya agar dia memiliki otoritas terhadap isi piringnya.
Biarkan anak makan sendiri meskipun berantakan. Bunda tak perlu khawatir karena normalnya anak-anak akan melewati fase kotor, yaitu di mana anak mengenal makanan dengan mengacak-acak makanan di depannya, dan menumpahkan seluruh isi piringnya.
Perlu diingat, jangan sampai mengatasi GTM dengan mengalihkan perhatian anak. Tidak boleh ada distraksi atau mengalihkan pada mainan, televisi, atau gadget di waktu makan.
3. Tidak dipaksa
Komponen ketiga, anak tidak boleh dipaksa untuk mau makan sendiri. Jadi, lebih baik orang tua tidak memaksa anak. Apalagi jika anak sudah menunjukkan tidak mau makan, seperti penutupan mulut, menoleh, mengalihkan kepala, menangis.
Ibu perlu bersikap netral. Boleh, membujuk sesuap dua suap boleh asal tidak memaksa. Ambil jeda waktu 10-15 menit. Jika masih tidak mau, lebih baik berhenti. Jangan juga memberi makanan sebagai hadiah, misalnya anak kalau mau makan bubur nanti diberi biskuit. Nanti, malah yang ditunggu biskuit.
Anak yang tidak mau makan harus kita cermati, pertama kita harus identifikasi. Ada tanda-tanda bahaya atau red flag tidak? Tanda bahaya atau red flag ini biasanya ada hubungannya dengan penyakit.
Misalnya, ada gangguan di sistem pencernaan, kemudian juga bisa berkaitan dengan sistem pernapasan atau penyakit-penyakit bawaan. Jika anak mengalami muntah, diare berulang, atau ada infeksi lebih baik dibawa ke rumah sakit, karena harus ditangani dahulu penyebabnya oleh dokter.
5. Perhatikan kuantitas dan kualitas makanan anak
Kuantitas dan kualitas makanan anak juga perlu diperhatikan. Jangan sampai ibu melihat berat badan anak naik, lalu dibilang bagus. Hal itu belum bisa menjadi patokan anak sehat, bisa saja makronutrien (karbohidrat, protein, lemak) cukup tapi mikronutrien tidak mencukupi.
Penyajian makanan juga harus higienis. Sedangkan pemberian makan harus sesuai dengan tahap perkembangan anaknya yang berkaitan dengan feeding rules.
Ingat, ketika anak berusia satu tahun, sebanyak 30 dari 100 persen kebutuhan kalori itu bentuknya cair. Jadi bukan semuanya padat. Jadi Bunda jangan fokus pada pemberian makanan padat saja. Perhatikan kebutuhan kalori yang bentuknya cair.
Untuk mengkompensasi supaya tidak trauma, beri makanan yang ia suka. Jadi anak akan menangkap sinyal bahwa mereka tidak dipaksa, mereka akan belajar. Kalau perlu, makanan yang baru dikenalkan itu dicampur dengan makanan yang anak suka.
Sumber : https://www.haibunda.com/parenting/20201002080129-59-164886/penyebab-gtm-pada-anak-dan-9-strategi-untuk-mengatasinya
Tinggalkan Komentar