Penulis : Nadya Rizma Harianda, S. Pd
(Guru TK YB IS Cab. Sekip)
Dalam Islam, pendidikan anak tidak hanya bertujuan untuk mencetak generasi cerdas secara akademis, tetapi juga kokoh secara spiritual dan emosional. Salah satu aspek penting yang sering luput dari perhatian adalah mengajarkan anak untuk menghadapi kegagalan dengan bijak dan sabar sejak usia dini, termasuk di usia taman kanak-kanak (TK).
Gagal adalah Bagian dari Takdir dan Ujian. Dalam Islam, kegagalan bukan sesuatu yang harus ditakuti, melainkan bagian dari qadar (takdir) dan ujian dari Allah SWT. Allah berfirman: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa kegagalan adalah bentuk ujian untuk menguji kesabaran, bahkan bagi anak-anak. Maka, mengajarkan anak menerima kegagalan berarti menanamkan nilai sabar dan tawakal sejak dini.
Ketika anak belajar gagal dengan sikap yang benar, mereka dilatih untuk tidak mudah menyerah, bersyukur atas proses, dan memahami bahwa keberhasilan datang setelah usaha dan doa. Nabi Muhammad SAW pun mengajarkan untuk tidak menyerah, seperti dalam sabdanya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan…”
(HR. Muslim No. 2664)
Hadis ini menunjukkan pentingnya mental tangguh dan semangat berusaha, yang harus dimulai sejak kecil. Kegagalan dalam permainan, tugas sekolah, atau saat mencoba hal baru adalah kesempatan untuk membentuk karakter anak yang kuat dan tidak mudah putus asa.
Dalam Islam, orang tua dan guru adalah pendidik utama yang bertanggung jawab tidak hanya secara akademis tapi juga dalam pembentukan akhlak.
Maka, ketika anak gagal, penting bagi orang tua untuk:
Belajar gagal sejak usia dini membangun resilience atau daya tahan mental-kemampuan untuk bangkit setelah menghadapi kesulitan. Anak yang memiliki daya tahan ini lebih siap menghadapi tantangan di masa depan, tidak mudah menyerah, dan memiliki kepercayaan diri untuk mencoba hal-hal baru.
Daripada langsung membantu ketika anak kesulitan, berikan ruang bagi mereka untuk mencoba sendiri terlebih dahulu. Pujilah usaha, bukan hasil—ucapan seperti, “Kamu hebat sudah mencoba lagi!” lebih membangun daripada hanya memuji hasil akhir. Selain itu, membagikan pengalaman pribadi tentang kegagalan juga dapat membuat anak merasa bahwa kegagalan adalah hal yang wajar dan manusiawi.
Yang perlu diingat, pengalaman gagal di usia dini harus tetap berada dalam konteks yang aman dan penuh dukungan. Kegagalan bukan untuk mempermalukan atau menekan, melainkan untuk membuka ruang dialog, refleksi, dan pertumbuhan. Dengan pendampingan yang tepat, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tapi juga kuat secara emosional.
Maka, mari kita siapkan anak-anak kita bukan hanya dengan ilmu dunia, tetapi juga keteguhan hati dalam menghadapi takdir-Nya.
Sumber Referensi :
Tinggalkan Komentar