Oleh : Adelia Intan Rahmaniar, S.I.Kom. (Guru TK YBIS)
Disebabkan karena cinta yang meledak-ledak, ketergantungan kepada anak yang berlebihan, mencemaskan anaknya, seorang pendidik atau orang tua melebihi batas takut alami yang menjadi fitrah setiap orang menuju ketakutan yang membunuh spirit keberanian dan bertindak cepat, ketakutan yang mengisi jiwa dengan kecemasan dan kegundahan dari sesuatu yang masih maya. Secara ringkas, ketakutan tersebut adalah ketakutan dari segala sesuatu dan kekhawatiran dari semua hal.
Pendidik semacam ini menjadikan anak didik kehilangan kepecayaan dirinya, menjadikan anak didik tergadai oleh khalayan-khayalannya, menjadi tahanan bagi rasa takut yang semu, dia takut jatuh Ketika memanjat sesuatu yang tinggi, takut gagal ketika mengerjakan tugas, karena tercederai dan dia takut memikul beban meskipun ringan karena khawatir akan jatuh.
Pendidik semacam ini memiliki beberapa akibat buruk atas individu, diantara akibat buruk yang paling menonjol adalah :
1. Lemahnya Keimanan dan Tawakkal. Karena jika dia belajar bagaimana bertawakkal kepada Allah, kemudian dia diajari hakikat tawakkal, diajarkan kepadanya bahwa tidak ada yang membahayakannya kecuali apa yang ditulis Allah untuknya dan apa yang tidak ditulis Allah untuknya dan apa yang tidak dituliskan Allah untuknya tidak akan menimpanya. Keimanan dan tawakkal ini akan mewujudkan keseimbangan dalam dirinya, dari sela-sela keimanan dan tawakkal ini, dia akan mampu meniti kehidupan dengan tenang dan tentram, jika kamu ingin mengutus anakmu untuk suatu perkara, kemudian ia menolak dengan alasan takut, maka katakan kepadanya “Wahai anakku, bacalah Bismillah dan bertawakkallah kepada Allah.” Jika kamu mendapatkan tanggapan positif dan persiapan dari anakmu maka teruskanlah perintah tersebut dengan barakah Allah jika kamu mendapatkan sebaliknya.
2. Pendidik yang semacam ini melahirkan generasi penakut yang keberanian pudar darinya dan tidak memiliki keteguhan hati, mereka gemetaran jika menghadapi situasi meskipun mudah, lisannya terbata-bata Ketika berbicara meskipun dihadapannya hanya teman-temannya saja.
3. Mematikan spirit kreatifitas dan memangkas semangat pembaruan, bagaimana mungkin orang yang takut akan mengerjakan suatu tugas akan diharapkan darinya pembaharuan dan kreatifitas.
4. Jiwa terbiasa merendah dan merasa hina untuk selain Allah, hanya karena takut dari sesuatu yang dia ketahui, jiwanya malas untuk mendapatkan perkara-perkara mulia, karena dia membenci petualangan dan rela dengan kehinaan dan kerendahan.
Orang yang takut memanjat gunung,
Hidup abadi diantara lembah kehinaan..
Terkadang pendidik atau orang tua mengira bahwa rasa khawatir mereka terhadap anak adalah tuntutan dari kewajiban memberikan perhatian kepada anak, orang tua berkeyakinan bahwa dia akan berdosa jika meninggalkan dan meremehkannya. Ini tidak benar, karena orang tua tidak merasa khawatir kecuali dalam perkara riil saja, seperti khawatir anak akan terjatuh dan lain sebagainya. sedangkan orang tua tidak menjadi pendidik yang khawatir jikalau kemurkaan Allah menimpa anaknya, karena keteledorannya dalam menunaikan syariat-syariat Islam dan meremehkan larangan-larangan Allah.
Bagi pendidik yang ingin mengikis rasa khawatir berlebih kepada anak didik, hendaklah dia menempuh langkah-langkah berikut ini:
1. Dia harus menanamkan keyakinan pada jiwa anak semenjak kecil bahwa yang telah Allah tetapkan akan menimpanya tidak mungkin akan meleset darinya dan apa yang ditetapkan Allah akan meleset darinya maka tidak akan menimpanya, Allah سبحانه و تعالى berfirman :
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ
اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Q.S. Al-Hadid : 22
ۗلَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.”
Q.S. Ar-Ra’d : 11
Nabi ﷺ berkata dalam wasiatnya kepada Ibnu Abbas رضي الله عنه yang artinya :
“Ketahuilah seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali manfaat yang telah Allah tetapkan untukmu, jikalau suatu kaum berkumpul untuk mendatangkan bahaya atas dirimu nsicaya mereka tidak bisa mendatangkannya kecuali bahaya yang telah Allah tetapkan untukmu, telah diangkat pena dan tintapun mengering”.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (1/293, 303, 307)
2. Jadikanlah perilaku para sahabat -semoga Allah meridhai mereka- dengan anak-anaknya sebagai pelita bagi orang tua dalam berperilaku kepada anak-anak.
3. Orang tua harus tahu, bahwa takut adalah perkara fitrah, anak pasti memiliki rasa takut yang akan menghalanginya dari perbuatan jelek, maka jangan tambah lagi dengan rasa takut, kecemasan dan kekhawatiran lainnya. Akan tetapi, orang tua harus mengarahkan rasa takut yang fitrah ini dengan pengarahan yang benar, peringatkan anak dari bahaya yang menantinya. Kemudian, biarkan anak berbuat dan berusaha, jika ia gagal maka mintalah ia untuk mengulanginya.
Sumber : As-Suhaimi, Muhammad bin Abdullah bin Shalih. 2019. Cara Bijak Mendidik Anak. Bekasi: Pustaka Dhiya’ul Ilmi
Tinggalkan Komentar