Oleh : Ade Agustian
(Kadiv. Digital Marketing SD YBIS)
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du
Pertama, yang sesuai sunah, mencukur rambut bayi dilakukan di hari ketujuh setelah kelahiran. Berdasarkan hadis dari Salman bin Amir Ad-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
“Setiap anak ada aqiqahnya, sembelihlah aqiqah untuknya dan buang kotoran darinya.” (HR. Bukhari 5471)
Dalam hadis lain, dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelih di hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur kepalanya. (HR. Nasai 4149, Abu Daud 2837, Turmudzi 1522, dan dishahihkan Al-Albani)
Ibn Abdil Bar mengatakan,
الحلق معنى أميطوا عنه الأذى
Makna: “buang kotoran dari bayi” adalah mencukur rambutnya. (Al-Istidzkar, 5/315)
Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan,
ذهب الجمهور المالكية والشافعية والحنابلة إلى استحباب حلق شعر رأس المولود يوم السابع, والتصدق بزنة شعره ذهباً أو فضة عند المالكية والشافعية, وفضة عند الحنابلة. وإن لم يحلق تحرى وتصدق به. ويكون الحلق بعد ذبح العقيقة
Mayoritas ulama, yaitu malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali, berpendapat bahwa dianjurkan mencukur kepala bayi pada hari ketujuh, dan bersedekah seberat rambut berupa emas atau perak menurut Malikiyah dan Syafiiyah, dan berupa perak saja menurut hambali. Jika tidak dicukur maka beratnya dikira-kira beratnya, dan sedekah dengan perak seberat itu. Mencukur rambut dilakukan setelah menyembelih aqiqah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 18/96)
Jika pada hari ketujuh belum sempat dicukur, maka rambut anak tetap dicukur setelah itu, meskipun telah baligh.
Hal ini sebagaimana keterangan Ibn Hajar Al-Haitami, salah seorang madzhab Syafii, ketika beliau menjelaskan anjuran cukur rambut dan sedekah seberat rambut. Beliau menegaskan kasus rambut bayi yang belum dicukur,
مَنْ لَمْ يُفْعَلْ بِشَعْرِهِ مَا ذَكَرَهُ يَنْبَغِي لَهُ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ أَنْ يَفْعَلَهُ هُوَ بِهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ إنْ كَانَ شَعْرُ الْوِلَادَةِ بَاقِيًا وَإِلَّا تَصَدَّقَ بِزِنَتِهِ يَوْمَ الْحَلْقِ فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ احْتَاطَ وَأَخْرَجَ الْأَكْثَرَ
“Siapa yang rambutnya belum ditangani seperti yang disebutkan (dicukur dan disedekahi) maka selayaknya dia melakukan seperti yang disarankan Az-Zarkasyi, bahwa rambutnya dicukur, setelah baligh, jika rambut bawaan lahir masih ada. Jika tidak ada maka dia bersedekah dengan seberat rambut pada saat dicukur. Jika tidak diketahui beratnya, dia mengambil langkah hati-hati, dengan bersedekah lebih banyak.” (Tuhfatul Muhtaj, 41/201).
Keterangan Az-Zarkasyi yang dikutif Al-Haitami, tidaklah menganjurkan untuk menunda pelaksanaan mencukur rambut anak sampai baligh. Beliau hendak menjelaskan bahwa mencukur rambut sifatnya longgar, boleh dilakukan meskipun telah baligh.
Allahu a’lam
Sumber : https://konsultasisyariah.com
Tinggalkan Komentar