Penulis : Alpiah, S.Pd.
(Guru TK YBIS Sako)
Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Pada dasarnya semua orang tua menginginkan hal terbaik bagi tumbuh kembang anak-anak mereka. Meskipun maksudnya demi kebaikan, terkadang keinginan orang tua malah melukai perasaan anak. Proteksi yang berlebihan, ekspektasi yang terlalu tinggi dan egoisme kerap menjadi toxic yang dilakukan oleh orang tua. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk mengetahui seperti apa yang dinamakan toxic parent supaya kelak hal tersebut dapat dihindari.
Toxic parents merupakan orang tua yang melakukan tindakan-tindakan tertentu yang tanpa sadar dapat membebani psikologis anak. Orang tua yang tanpa sadar menerapkan toxic parenting umumnya mengedepankan keinginan pribadi, mengatur anak semaunya sendiri, tidak menghargai perasaan serta pendapat anak, dan tidak memandang bahwa anak memiliki hak atas kehidupannya sendiri.
Berikut ini merupakan ciri perilaku yang paling sering dilakukan toxic parent dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka.
Para orang tua terkadang lupa bahwa anak berhak memiliki pilihan mereka sendiri dengan selalu menganggap bahwa mereka masih kecil dan belum mengerti. Sehingga dalam pemikiran toxic parents selalu muncul keinginan untuk membatasi serta mengontrol apa saja yang dilakukan sang buah hati. Sebagai orang tua sudah sewajarnya memiliki kekhawatiran terhadap anaknya, takut sang anak terluka dan sebagainya. Namun, jika kekhawatiran sudah dirasa berlebihan hingga membuat anak tidak bebas bahkan stres maka itu menjadi perilaku toxic yang harus dihindari. Kekhawatiran yang berlebihan seperti ini akan membuat orang tua tidak memercayai sang anak, sebab dia beranggapan bahwa pilihan terbaik adalah berasal dari orang tua dan bukan anaknya. Hal tersebut memungkinkan menimbulkan kebencian, stres dan kekecewaan anak pada orang tuanya.
Apakah membentak anak diperlukan untuk menanamkan ketegasan? Tentu hal tersebut bukanlah perilaku yang tepat. Pada zaman dahulu, mungkin mengasuh anak secara tegas dengan cara membentak dan memarahi ketika mereka salah masih banyak ditemukan. Meskipun ada yang berhasil dengan penerapan tersebut, ada juga yang gagal karena menyisakan luka batin pada diri sang anak. Jika sang anak membuat kesalahan besar, orang tua boleh memperingatkan mereka dengan cara masing-masing. Bicaralah baik-baik mengapa mereka melakukan kesalahan, jelaskan bahwa hal itu membuat Anda tidak nyaman.
Para toxic parent ini cenderung tidak sabar dan mudah emosi terhadap perilaku anak-anak hingga melakukan kekerasan verbal demi menyalurkan amarahnya. Tidak hanya itu bahkan kata-kata kasar pun kerap terucap diantara rentetan emosi. Hal ini akan berakibat sangat buruk bagi anak-anak baik secara kesehatan mental dan fisik mereka. Anak tidak dapat menyadari letak kesalahan mereka dan justru memiliki ketakutan besar terhadap orang tuanya karena tidak ingin dipukuli. Selain itu, cara seperti ini hanya akan membuat anak menjadi depresi dan membenci orang tua mereka. Padahal seharusnya orang tua menjadi tempat yang paling dekat dan paling nyaman bagi anak-anak mereka dan bukannya menjadi sosok paling mengerikan.
Jangankan anak-anak, orang dewasa saja sering melakukan kesalahan besar. Namun kadang paratoxic parent tidak pernah menyadari hal ini. Mereka selalu menganggap masalah yang muncul disebabkan kesalahan dan kelalaian anak, hingga melabeli anak dengan kata negatif. Jika tujuan mengkritik adalah supaya anak paham dan melakukan introspeksi diri, maka persepsi tersebut merupakan kesalahan besar. Masing-masing anak tidak dapat disamaratakan, sebab mereka memiliki kemampuan, daya tangkap, sikap dan tingkat kecerdasan yang berbeda. Sebagai orang tua hendaknya jangan mengkritik, namun memberikan dukungan agar anak mengalami peningkatan.
Berbagai alasan yang kerap dilantunkan para toxic parents dalam menekan, membatasi, mengkritik dan menyuruh-nyuruh anak adalah demi kebaikan mereka. Padahal sesungguhnya itu hanyalah sebuah alasan untuk memenuhi ego para toxic parents. Misalnya, orang tua menekan anak mereka supaya belajar giat dan wajib masuk dalam sekolah favorit demi masa depan anak yang cerah. Padahal sebenarnya, itu merupakan ego toxic parents yang supaya dapat dibanggakan dalam lingkungan sosialnya. Tanpa memikirkan kerja keras dan penderitaan anak yang telah mengorbankan waktunya untuk belajar terus menerus, tanpa sempat bersosialisasi dengan teman sebayanya. Padahal sebagai mahluk sosial, anak-anak juga membutuhkan interaksi diluar untuk perkembangan dirinya secara jasmani dan rohani.
Sekecil apapun seorang anak, mereka juga memiliki hak untuk mempunyai ruang privasi mereka. Akan tetapi, toxic parents mungkin menganggap privasi hanyalah milik para orang dewasa. Hal tersebut membuat toxic parents tidak pernah memberi ruang privasi pada anak. Mereka cenderung mengusik anak ketika mulai menyembunyikan masalah, atau tidak menceritakan segalanya. Lebih parahnya, jika anak menolak bercerita toxic parents tidak segan untuk mencurigai anaknya.
Sumber : https://www.gramedia.com/best-seller/toxic-parents/
Tinggalkan Komentar