Penulis : Catri Pebriyani, A.Md. (Guru TK YBIS)
Sudah umum menjadi pola pandang orangtua bahkan sampai tataran guru sekolah, bahwa kurikulum pendidikan adalah berupa tumpukan daftar materi pelajaran yang harus “dijejalkan” kepada anak. Sejatinya tidak demikian, karena kurikulum pendidikan lebih mendasar cakupannya dari sekedar materi pelajaran.
“Apakah materi pelajaran tidak penting ?”
Materi pelajaran sangat penting, sebagaimana pentingnya syariat Agama yang harus dipahamkan kepada anak. Walaupun sangat penting, ternyata urusan materi pelajaran adalah hal yang mudah, sebagaimana juga mudahnya urusan syariat Agama Islam (1).
“Jika materi pelajaran merupakan hal yang mudah, lalu hal apa yang sulit dalam pendidikan anak ?”
Seorang anak pada dasarnya mudah sekali dalam menerima materi pelajaran, namun akan mengalami kesulitan untuk menerima dan memahaminya, jika:
Jika keadaan anak adalah demikian, maka anak belum memiliki kesiapan untuk menerima materi pelajaran. Kesiapan tersebut sebenarnya adalah telah tumbuhnya karakter-karakter pada diri anak. Tanpa tumbuhnya karakter, dikhawatirkan materi pelajaran yang diberikan akan menjadi mubadzir, karena tidak bisa diserap oleh anak akibat tidak ada ketertarikan, tidak terpancing oleh rasa ingin tahu, atau tidak dibutuhkan anak karena tidak sesuai dengan bakat uniknya. Dan penumbuhan karakter inilah yang lebih sulit keadaannya dibanding pemberian materi pelajaran.
Contoh 1 :
Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Pada suatu hari aku pernah diboncengkan berada di belakang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Wahai Nak! Sesungguhnya aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau mau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau mau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah apabila semua umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka pun berkumpul untuk menimpakan bahaya kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena-pena (pencatat takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (catatan takdir) telah kering’”.
HR. Tirmidzi, dan ia berkata bahwa hadits ini hasan shahih
Pada redaksi hadits tersebut termaktub materi pelajaran yang sangat penting tentang aqidah, dan redaksinya lebih mendominasi dibanding redaksi metode pembelajarannya. Namun perlu diketahui bahwa metode pembelajaran inilah yang merupakan prioritas utama pendidikan sebelum pemberian materi pelajaran.
Proses memboncengkan seorang anak dibelakang binatang tunggangan (kendaran) tentunya bukan merupakan aktifitas yang sederhana sebagaimana sederhananya kata “diboncengkan” pada hadits tersebut. Untuk memboncengkan seorang anak tentunya merupakan sebuah proses yang merupakan rangkaian dari beberapa aktifitas yang berurutan sehingga anak dengan kerelaan hati mau membonceng di belakang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mulai dari aktifitas mendekati anak untuk “merayu” nya, kemudian menawarkannya, lalu mempersilahkan naik, dan seterusnya, bukanlah aktifitas mudah yang semudah menyampaikan materi pelajaran. Proses inilah yang sebenarnya merupakan proses penumbuhan karakter dalam pendidikan anak.
Dengan diboncengkan, seorang anak akan merasa dirinya diperhatikan dan disayangi oleh Rasulullah. Hal ini memunculkan rasa kagum pada diri anak terhadap diri Rasulullah dan rasa kagum inilah yang merupakan benih karakter iman yang akan tumbuh pada diri anak. Kemudian Rasulullah memancing tumbuhnya rasa ingin tahu anak dengan sabda beliau
“Sesungguhnya aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu”.
Hal ini merupakan kalimat yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu (penasaran) terhadap apa yang akan Rasul sampaikan. Hal ini merupakan proses penumbuhan karakter belajar pada diri anak. Kemudian Rasulullah mengajarkan ilmu ini khusus kepada Ibnu Abbas, bukan bersama-sama dengan anak lainnya, karena Rasulullah sudah mengetahui potensi Ibnu Abbas sebagai calon Ahli Ilmu sebagaimana doa yang telah beliau panjatkan untuk memohon kepada Allah agar Ibnu Abbas dijadikan ahli ilmu tafsir (ahli ilmu)(2). Hal ini merupakan proses penumbuhan karakter bakat pada diri anak.
Dalam proses penumbuhan karakter inilah diharapkan akan tumbuh niat ikhlas, dan sebagaimana diketahui bahwa urusan keikhlasan merupakan hal tersulit dalam beribadah, termasuk juga dalam bidang pendidikan (3).
Contoh 2:
Dari Umar bin Abi Salmah, berkata,
“Dulu aku menjadi pembantu di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika makan bersama tanganku berseliweran ke mana-mana . Melihat itu beliau berkata, ‘Nak, bacalah basmallah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu’. Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu.”
HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022
Pada hadits tersebut terkandung materi pelajaran tentang adab makan. Dan pemberian materi pelajaran tersebut tidak semata-mata diberikan begitu saja ketika anak sedang duduk manis bermajelis bersama temannya, tetapi karena ada aktifitas nyata yang terkait dengan materi pelajaran tersebut. Aktifitas inilah yang menjadikan anak langsung memahami kesalahan yang dilakukan dan memahami pelajaran yang diberikan. Itulah metode pembelajaran yang melibatkan anak langsung terlibat pada praktek nyata.
Oleh karena itu seharusnya orangtua (pendidik) lebih memprioritaskan metode pembelajaran terlebih dahulu, setelah itu baru pemberian materi pelajaran yang dibutuhkannya untuk bekal kehidupannya kelak, dan juga dengan penumbuhan karakter terlebih dahulu akan dapat diketahui materi pelajaran apa saja yang harus diberikan kepada setiap anak, dan juga materi pelajaran apa saja yang setiap anak berbeda-beda kebutuhannya sesuai bakat yang dimilikinya.
Materi pelajaran itu penting, namun metode pembelajaran harus lebih diprioritaskan agar anak memiliki kesiapan untuk menerima materi pelajaran.
Materi pelajaran itu mudah, dan yang paling sulit dalam pendidikan anak adalah menumbuhkan karakternya agar memiliki kesiapan untuk menerima materi pelajaran.
Sumber : @abdulkholiq @tarbiyatul_aulaad #parentingsunnah
Tinggalkan Komentar