Oleh : Samsuri Riyanto, S. E., Gr
Kepala SMP islam yaa bunayya
Pembelajaran Deep Learning atau pembelajaran mendalam bertujuan agar siswa tidak hanya menghafal materi secara permukaan, melainkan benar-benar memahami konsep, menerapkan, dan mengembangkan pengetahuan pada level yang lebih tinggi. Dalam konteks sistem pendidikan di Indonesia, pendekatan deep learning menitikberatkan pada elemen meaningful learning, mindful learning, dan joyful learning. Dengan pendekatan seperti ini, lingkungan belajar diharapkan menjadi ruang eksplorasi, refleksi, dan kreativitas bagi siswa.
Namun, agar deep learning tidak hanya menjadi jargon, guru perlu merancang strategi konkret untuk menumbuhkan elemen kreativitas di dalamnya. Penelitian “Pengaruh Pendekatan Deep Learning melalui Model RADEC terhadap Kreativitas Siswa pada Materi Bangun Datar” menunjukkan bahwa ketika pendekatan deep learning diintegrasikan dengan model pembelajaran RADEC, kreativitas siswa mengalami peningkatan signifikan. Selain itu, penggunaan model pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) sebagai bagian dari strategi deep learning juga terbukti efektif dalam meningkatkan kreativitas siswa.
Salah satu kunci untuk menumbuhkan kreativitas adalah memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir divergently — menghasilkan banyak ide alternatif, mengolah ulang, dan memperkaya gagasan. Dalam kerangka kreativitas, taktik seperti fluency, flexibility, originality, dan elaboration menjadi penting (merujuk pada taksonomi kreativitas, misalnya Williams’ Taxonomy). Guru bisa mendorong siswa untuk bereksperimen, membuat variasi, dan memperluas ide awal menjadi sesuatu yang lebih kaya makna dalam proyek pembelajarannya.
Pendekatan pedagogis seperti Design-Based Learning (DBL) dapat diintegrasikan dalam pembelajaran deep learning untuk memperkuat kreativitas siswa. DBL meminta siswa merancang artefak atau solusi nyata berdasarkan pengetahuan mereka, kemudian melakukan refleksi dan revisi (iteration). Dengan begitu, siswa tidak hanya menerima materi pasif, melainkan menjadi perancang aktif dari pembelajaran mereka sendiri.
Selain strategi desain pedagogis, integrasi teknologi—khususnya kecerdasan buatan (AI)—juga dapat mendukung kreativitas siswa dalam pembelajaran lebih mendalam. Studi “The Usage of AI in Teaching and Students’ Creativity” menunjukkan bahwa penggunaan AI dalam pengajaran dapat meningkatkan kreativitas siswa, dengan keterlibatan belajar sebagai variabel mediasi. Begitu pula penelitian-penelitian lain menyebut bahwa alat generatif AI (seperti ChatGPT) dapat membuka jalur ide, membantu perbaikan iteratif, dan menurunkan hambatan “bagian hitam” dalam kreativitas.
Akan tetapi, agar integrasi AI tidak justru membatasi kreativitas, ada beberapa catatan penting: guru harus memiliki literasi AI agar pemanfaatannya efektif, dan siswa juga perlu diarahkan agar tidak bergantung sepenuhnya pada output AI. Studi Zhou et al. (2025) mengemukakan bahwa keberhasilan penggunaan AI dalam pengajaran terhadap kreativitas siswa sangat dipengaruhi oleh literasi AI guru dan persepsi siswa terhadap keahlian guru tersebut. Di samping itu, penelitian lain pada konteks pendidikan tinggi juga menyoroti potensi dan tantangan integrasi AI dalam pendidikan: meski AI terintegrasi dapat merangsang kreativitas dan keterlibatan, ada risiko adanya hambatan emosional atau tekanan terhadap siswa jika tidak diimbangi pengelolaan yang baik.
Dalam implementasi di kelas, guru bisa memakai strategi konkret: (1) menetapkan proyek terbuka (open-ended) yang memungkinkan banyak solusi; (2) memberikan waktu refleksi dan revisi agar siswa dapat memperbaiki ide; (3) mendorong kerja kolaboratif agar ide saling bertukar dan berkembang; (4) menyediakan scaffolding atau pendampingan ketika siswa mengalami kebuntuan kreatif; (5) menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti, untuk ide dan iterasi. Pendekatan ini sejalan dengan rekomendasi dalam pengembangan pembelajaran yang menekankan kreativitas produktif, refleksi, dan otonomi.
Sebagai kesimpulan, untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam pembelajaran deep learning, diperlukan perpaduan antara desain pedagogis yang mendukung (misalnya PBL, DBL), integrasi teknologi yang tepat (AI dengan literasi), serta budaya kelas yang membuka ruang eksperimen, refleksi, dan revisi. Bila dilakukan secara konsisten, pendekatan tersebut memungkinkan siswa berkembang bukan hanya sebagai individu yang “tahu jawaban”, melainkan sebagai pencipta gagasan baru. Untuk penelitian lebih lanjut, guru dan peneliti dapat mengkaji dampak jangka panjang pendekatan ini dalam berbagai disiplin dan jenjang pendidikan.
Sumber :
Aurora Institute. (2024). 4 Keys to Building Deeper Critical and Creative Thinking in Your Classroom. Diakses dari: https://aurora-institute.org/cw_post/4-keys-to-building-deeper-critical-and-creative-thinking-in-your-classroom
Tinggalkan Komentar