Oleh : Erlin Novasia
(Staf Administrasi SD YBIS)
Pernyataan “Tidak Semua yang tampak sunnah benar-benar mengamalkan sunnah” menekankan bahwa memahami dan menjalankan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dilakukan secara tepat, bukan sekadar mengikuti bentuk lahiriah. Sebab, tidak sedikit amalan yang terlihat seperti sunnah, namun belum tentu selaras dengan tuntunan Nabi yang sesungguhnya. Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semestinya dia selalu berusaha untuk menghidupkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai ahlus sunnah. Karena konsekuensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya” Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaannya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghidupkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit” Kitab “asy-Syifa bita’riifi huquuqil mushthafa” (2/24)
Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim zaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim zaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja. Adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya.
Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukannya berusaha segera mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang menunjukkan keengganannya: “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa jika ditinggalkan…”.
Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap para ulama Ahlus sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Ta’ala, para ulama Ahlus sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakan semua amalan yang dicintai oleh Allah Ta’ala.
Setelah memahami betapa besar keutamaan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melihat semangat para ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkannya, masihkah kita ragu untuk turut serta dalam meraih keutamaan dan kemuliaan yang luar biasa ini? Bukankah kita juga mengharapkan keutamaan yang lebih tinggi di akhirat kelak, yaitu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin dan pembela kita di hadapan Allah Ta’ala saat kita menghadap-Nya?
Imam Ibnu Katsir berkata, “Salah seorang ulama salaf berkata: “Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena imam (pemimpin) mereka (pada hari kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam“ Tafsir Ibnu Katsir (3/73).
Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam [Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (wafat 212 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 166)], ketika beliau ditanya, “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (apa sebabnya?)”. Beliau menjawab, “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?“ Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/74).
Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita, amin.
Sumber: https://muslim.or.id/3316-mari-menghidupkan-sunnah-nabi.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
Tinggalkan Komentar