Oleh : Adi Prayoga
Ayah adalah sosok yang berterik mentari di luar sana, bekerja di ladang atau di jalanan. Keringatnya selalu saja membasahi pakaiannya untuk tetap menjadi penopang ekonomi keluarga sehingga tak berkesempatan mengajak atau mengajarkan engkau ayat-ayat langit, kalam-Nya yang mulia.
Atau ianya adalah sosok yang selalu tersapu oleh dinginnya udara AC dalam ruangan untuk bergulat dengan lika-liku pekerjaan kantor yang menumpuk demi gaji penuh yang ditunggu demi membeli sesuap nasi untuk istri dan anak-anak. Hanya lemah dan letih tersisa di rumah. Ujungnya, pendidikan agama terkadang begitu terabaikan, tak tersentuh karena energi yang telah terkuras seharian.
Menjadi seorang ayah adalah sebuah predikat yang akan selalu melekat pada seorang suami ketika ia memiliki anak. Profesi atau gelar mulia yang seringkali kurang disadari seorang pria bahkan ia hadapi dengan biasa-biasa saja, tak ubahnya saat ia telah mengemban amanah sebagai suami.
Penyair berkata :
وَيَنْشَأُ نَاشِئُ الْفِتْيَانِ مِنّاَ عَلَى مَا كَانَ عَوَّدَهُ أَبُوْهُ
Dan anak-anak kita tumbuh sesuai dengan apa yang ayahnya biasakan kepada dirinya.
_
Seorang anak sangat membutuhkan kehadiran ayah, sebagaimana pula dia begitu ingin dekat dan dicintai oleh ibunya. Seorang ayah yang super sibuk dan menyerahkan segala tanggung jawab pendidikan anaknya kepada istrinya tanpa ada upaya untuk terlibat di dalam membimbing anaknya, ia bukanlah figur orang tua yang baik.
Tak dapat dipungkiri peran dan tanggung jawab seorang ayah yang peduli dan memiliki power full tetap dibutuhkan seorang anak. Sesibuk apapun seorang ayah perlu meluangkan waktunya untuk peduli pada anaknya, meski hanya berkirim sms seperti “Anakku sayang, sudah sholat belum?” atau mengajaknya bercanda, bermain bersama, atau memberinya kejutan-kejutan kecil, seperti : memberikan hadiah dan lain-lain, dengan maksud untuk merekatkan cinta kasih.
Jika menengok cermin mutiara masa lalu yang indah bercahaya nan harum semerbak, didapati tak sedikit para ulama lahir dari madrasah dan didikan berkualitas sang ayah.
Ahmad bin ‘Abdul Halim namanya yang lebih tenar dengan panggilan Ibnu Taimiyyah, sang Syaikhul Islam yang karya-karyanya melintasi dimensi waktu. Ianya adalah mutiara dan bintang zaman yang terdidik apik dalam mercusuar ilmu sang ayah.
Para ulama menyebutkan :
كان جده كالقمر وكان أبوه كالنجم وكان هوا كالشمس
“Seperti rembulan kakeknya, bak bintang ayahnya dan Ibnu Taimiyyah sendiri ibarat mentari.”
Lihat Taisiyr Rabb al-Bariyyah fiy Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, Dar Ibnu Jauziy, Saudi Arabia, hal 9
Para ulama menyebutkan dalam biografi Ibnu Taimiyyah bahwa diantara ratusan gurunya, ilmu sang ayah lah yang paling banyak ia serap. Kakek dan ayahnya adalah seorang ulama dan mereka saling mewarisi ilmu turun temurun dalam keluarga. Sang ayah menjadi ustadz sang anak dan sang anak menjadi murid sang ayah.
Begitu pula para salaf dahulunya, anak-anak mereka adalah murid pertama dan utama yang menjadi objek pengajaran di rumah. Dengan kata lain, mereka adalah guru dan ustadz untuk anaknya masing-masing, tak semata hubungan anak dan ayah.
Imam Malik mengatakan:
كان السلف يعلمون أولادهم حب أبي بكر وعمر كما يعلمون السورة من القرَآن
“Dahulunya para salaf mengajarkan anak-anak mereka untuk mencintai Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana mengajarkan surat dalam Al-Qur’an.”
Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnnah, juz 7, hal 1240, dalam Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah.
Mereka telah mampu menciptakan episode dan kenangan terindah bagi anak-anak untuk menjadi bekal mengarungi kehidupan. Dan ini tumbuh dari dorongan iman jauh sebelum menikah bahwa anak-anak mestilah menjadi murid bagi sang ayah.
Beranjak lebih dekat lagi ke zaman nubuwwah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika menyebutkan akan ada hari-hari di akhir zaman nanti dimana ilmu lenyap terangkat, lantas para sahabat bertanya keheranan:
كيف يذهب العلم وقد قرأنا القرآن وأقرأناه نساءنا وأبناءنا
“Bagaimana mungkin ilmu lenyap sementara kami membaca Al-Qur’an dan kami membacakannya (mengajarkannya -ed) untuk istri dan anak-anak kami?”
Lihat Shahih Washaya ar-Rasul, hal 256, jilid 1, Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, Mesir.
Kepada sang Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam, para sahabat mengungkapkan aktifitas ilmiah mereka di rumah bahwa mereka membaca dan mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak. Tersirat bahwa mereka adalah ustadz dan mu’allim (pengajar) bagi buah hati.
Sungguh kita tersadar, diri ini bukanlah sosok Ibnu Taimiyah yang tumbuh dalam didikan dan pendidikan ‘Abdul Halim, ayahnya, hingga ia tumbuh menjadi mutiara pengemilau zaman hingga hari ini. Kita pun bukan ‘Abdul Halim seorang ulama yang tumbuh dalam didikan dan pendidikan kakek Ibnu Taimiyyah yang berilmu dan mampu mendidiknya hingga ia menjelma menjadi ulama.
Tetapi harapan yang terkomposisikan dengan do’a dan usaha untuk menjadi ayah yang baik sekaligus ustadz bagi buah hati kelak akan selalu ada karena detak jantung ini masih berdegup dan ruh masih berada dalam raga.
Biarlah ingatan masa lalu bahwa “Ayahku bukan ustadzku” terkenang dalam memori kita saja karena telah menjadi suratan takdir. Lalu diri berjanji sepenuh hati, kelak akan menjadi panutan bagi anak-anak guna berusaha menyelamatkan mereka dari api akhirat, tak hanya dari api dunia dan menjadi pengajar agama buat mereka, tak hanya menjadi semata ayah dalam talian hubungan darah.
Ketika anak-anak tak menemukan figur ayah yang baik, bisa jadi ia melampiaskan kegundahan pada kawan prianya dan ini bisa membuka pintu fitnah. Disinilah pentingnya sosok ayah dalam meng-handle anak-anaknya agar tetap lurus diatas Islam dan mampu menfilter hal-hal yang negatif dengan tumbuhnya perasaan aman dan nyaman bersama kedua orang tuanya.
Siap menjadi suami dalam balutan bingkai pernikahan sejatinya siap menjadi guru bagi istri dan anak-anak. Maka “Anakku adalah muridku” mesti terpatri dalam hati semenjak kini walaupun diri tak tahu kapan ia menggenapkan separuh agamanya.
Sumber : - https://muslim.or.id/24053-ayahku-bukan-ustadzku.html - https://muslimah.or.id/9274-ayah-penuh-cinta.html
Tinggalkan Komentar