Penulis : Fajar Selawati, M.Pd
(Guru SD YBIS)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Surat Al-Fajr adalah surat ke-89 dalam Al-Qur’an yang mengandung sumpah-sumpah Allah tentang waktu fajar, sepuluh malam istimewa, serta fenomena ganjil dan genap sebagai tanda kebesaran-Nya. Allah mengisahkan kehancuran kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun yang dihancurkan karena kesombongan dan kezaliman mereka, serta mengingatkan bahwa kekayaan dan kemiskinan hanyalah ujian, bukan tanda kemuliaan atau kehinaan. Surat ini juga menggambarkan penyesalan manusia pada Hari Kiamat saat menyadari kesalahan mereka, tetapi sudah terlambat untuk bertaubat. Namun, Allah memberikan kabar gembira bagi jiwa yang tenang (an-nafsul muthmainnah), yaitu mereka yang beriman dan bertakwa, yang akan mendapatkan surga-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai. Tafsir surat ini mengajarkan kita untuk mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu, memahami hakikat ujian dunia, serta meraih ketenangan dengan kembali kepada Allah.
Tafsir Ayat 1-5: Sumpah Allah dan Maknanya
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلْفَجْرِ
“Demi fajar,”
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan malam yang sepuluh,”
وَٱلشَّفْعِ وَٱلْوَتْرِ
“Dan yang genap dan yang ganjil,”
وَٱلَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
“Dan malam bila berlalu.”
هَلْ فِى ذَٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِى حِجْرٍ
“Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Fajr: 1-5)
Makna ayat menurut tafsir ulama
Menurut Tafsir Al-Muyassar, Allah bersumpah dengan waktu fajar karena fajar adalah momen penting dalam kehidupan manusia, menjadi waktu transisi antara malam dan siang, serta saat dimulainya berbagai aktivitas. Selain itu, waktu fajar memiliki keutamaan dalam ibadah, termasuk shalat Shubuh yang merupakan salah satu shalat utama dalam Islam.
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna “malam yang sepuluh”, tetapi dua pendapat paling kuat adalah:
Menurut Tafsir As-Sa’di, malam-malam ini memiliki keutamaan yang luar biasa, di dalamnya terkandung ibadah-ibadah istimewa seperti puasa, shalat malam, dzikir, dan amal saleh yang sangat dicintai oleh Allah.
Ayat ini juga menyebutkan sumpah Allah atas yang genap dan yang ganjil. Menurut sebagian ulama, yang genap merujuk pada semua ciptaan yang berpasangan di alam semesta, sementara yang ganjil mengisyaratkan keesaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.
Pendapat lain mengatakan: (الشفع) adalah dua hari tasyriq pertama yang diperbolehkan bagi orang yang berhaji untuk menyegerakan melempar jumrah pada hari itu. sedangkan (الوتر) yakni hari tasyriq ketiga.
Allah juga bersumpah dengan malam saat berlalu, menandakan bagaimana malam membawa ketenangan bagi manusia, serta pergantian siang dan malam adalah bukti kekuasaan Allah.
Pada ayat terakhir dalam bagian ini, Allah menegaskan bahwa sumpah-sumpah ini ditujukan kepada orang-orang yang berakal. Sebagaimana disebutkan dalam Zubdatut Tafsir, orang yang memiliki akal akan memahami bahwa apa yang Allah jadikan sumpah merupakan sesuatu yang besar dan memiliki hikmah dalam kehidupan manusia.
Tadabur ayat
Allah mengawali surat ini dengan sumpah terhadap waktu fajar, menunjukkan bahwa fajar adalah waktu yang istimewa. Ini mengajarkan kita untuk memanfaatkan waktu pagi dengan ibadah dan aktivitas yang bermanfaat, seperti shalat Subuh, dzikir, dan mencari keberkahan dalam pekerjaan.
Dua tafsiran utama tentang “malam yang sepuluh” menyoroti betapa besar keutamaan 10 malam terakhir Ramadhan dan 10 hari pertama Dzulhijjah. Ini mengajarkan kita untuk lebih giat beribadah di waktu-waktu mulia tersebut, termasuk dengan shalat malam, puasa, dan amal saleh lainnya.
Konsep ganjil dan genap dalam ayat ini mengajarkan kita untuk merenungi keseimbangan ciptaan Allah. Ada yang berpasangan, ada yang tunggal, dan semuanya menunjukkan keesaan serta kebijaksanaan-Nya dalam menciptakan segala sesuatu.
Allah bersumpah dengan malam yang berlalu, mengingatkan kita bahwa pergantian siang dan malam adalah tanda kebesaran-Nya. Waktu terus berjalan, dan kita harus memanfaatkannya dengan baik sebelum terlambat.
Allah menegaskan bahwa hanya orang-orang berakal yang dapat memahami makna sumpah-sumpah ini. Ini mengajarkan kita untuk menggunakan akal dengan benar, merenungkan ayat-ayat Allah, dan tidak terjebak dalam kesombongan serta kelalaian dunia.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad?”
إِرَمَ ذَاتِ ٱلْعِمَادِ
“(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.”
ٱلَّتِى لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِى ٱلْبِلَٰدِ
“Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain.”
وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُوا۟ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ
“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.”
وَفِرْعَوْنَ ذِى ٱلْأَوْتَاد
“Dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak).”
ٱلَّذِينَ طَغَوْا۟ فِى ٱلْبِلَٰدِ
“Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri.”
فَأَكْثَرُوا۟ فِيهَا ٱلْفَسَادَ
“Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.”
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
“Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.”
إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
Kaum ‘Aad adalah keturunan Iram yang tinggal di daerah Yaman. Mereka terkenal dengan bangunan-bangunan tinggi dan kekuatan fisik yang luar biasa. Namun, mereka durhaka kepada Allah dan menolak dakwah Nabi Hud ‘alaihis salam. Akibatnya, Allah mengirim angin topan dahsyat yang menghancurkan mereka hingga tak tersisa.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-A’raf: 69,
وَٱذْكُرُوٓا۟ إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَآءَ مِنۢ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِى ٱلْخَلْقِ بَصْۜطَةً ۖ فَٱذْكُرُوٓا۟ ءَالَآءَ ٱللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-A’raf: 69)
Kaum Tsamud dikenal sebagai bangsa yang memahat gunung-gunung batu sebagai tempat tinggal di daerah Hijr (sekarang di wilayah Arab Saudi). Mereka telah diberi tanda kebesaran Allah berupa mukjizat unta Nabi Shaleh ‘alaihis salam, tetapi malah membunuh unta tersebut dan tetap dalam kekafiran mereka.
Karena kezaliman mereka, Allah menghancurkan kaum Tsamud dengan suara yang menggelegar, sehingga mereka binasa dalam sekejap.
Allah juga menyebut Fir’aun yang dikenal sebagai “Dzul Awtad” (pemilik pasak-pasak), yang merujuk pada pasukannya yang besar dan sistem kekuasaannya yang kuat. Fir’aun adalah raja yang paling sombong, mengaku sebagai Tuhan, dan melakukan kezaliman terhadap Bani Israil.
Namun, sehebat apa pun kekuasaannya, Fir’aun tetap tidak bisa menghindari azab Allah. Dia dan pasukannya ditenggelamkan di Laut Merah, sebagai bukti bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun memiliki kesamaan: mereka semua melampaui batas, berlaku sewenang-wenang, dan berbuat banyak kerusakan di bumi. Mereka menggunakan kekuatan dan kekuasaan bukan untuk kebaikan, tetapi untuk kezaliman. Akibatnya, Allah menimpakan cemeti azab kepada mereka.
Kata Syaikh As-Sa’di: yang dimaksud berbuat kerusakan di muka bumi adalah dengan melakukan kekufuran dan berbagai cabangnya dari berbagai jenis kemaksiatan, serta berusaha memerangi para rasul dan menghalangi manusia dari jalan Allah.
Allah menegaskan,
إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
Artinya, Allah tidak pernah lalai dalam mengawasi hamba-Nya. Kezaliman mungkin dibiarkan sementara, tetapi pada akhirnya, Allah pasti akan membalas setiap perbuatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Allah Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا ٱلْإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’.” (QS. Al-Fajr: 15)
وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَٰنَنِ
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’.” (QS. Al-Fajr: 16)
Allah menjelaskan bahwa manusia cenderung menilai segala sesuatu hanya dari sisi materi dan kenikmatan dunia. Ketika ia mendapatkan rezeki yang lapang dan hidup dalam kemakmuran, ia menganggap bahwa itu adalah tanda bahwa Allah memuliakannya. Padahal, kelapangan rezeki bukanlah tanda kemuliaan sejati, melainkan ujian dari Allah untuk melihat apakah manusia bersyukur atau justru menjadi sombong dan lalai dari ibadah kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An’am: 44:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوا۟ أَخَذْنٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; hingga apabila mereka bergembira
Tinggalkan Komentar