Penulis : M. Rizky Perdana, M.Pd
(Guru SD YBIS)
Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia seperti tak pernah berhenti bergerak. Kurikulum berganti, kebijakan silih berganti, platform digital terus bermunculan, semuanya datang dengan janji perubahan dan pembaruan. Namun, di tengah riuh narasi kemajuan ini, ada satu kelompok yang terus menanggung beban terberat: para guru. Mereka tak hanya dituntut untuk terus beradaptasi, tapi juga tanpa sadar terjebak dalam siklus kelelahan yang tak kunjung usai. Mirip dengan apa yang digambarkan oleh filsuf Byung-Chul Han dalam The Burnout Society (2015), guru hari ini bekerja bukan karena dipaksa, tetapi karena merasa harus terus bisa — harus kreatif, harus adaptif, harus ideal.
Luka di Balik Gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
Kurikulum Merdeka hadir dengan semangat memerdekakan guru, tetapi kenyataannya sering kali justru menambah beban. Seorang guru di Lombok pernah bercerita tentang bagaimana ia harus menyusun modul proyek P5 hingga larut malam, dengan jaringan internet sekolah yang sering mati hidup (Tempo, 2023). Sementara itu, di kota besar, guru honorer mengeluh tentang gaji yang minim, tapi tugas administrasi malah terus bertambah—dari menginput nilai di satu platform ke platform lainnya (Kompas, 2022).
Masalah ini bukan sekadar soal teknis atau manajemen waktu. Ini cerminan dari gejala auto-eksploitasi seperti dijelaskan Han (2015): individu bekerja keras bukan karena tekanan eksternal, tetapi karena tekanan internal yang terus mendorong untuk tampil “mampu”. Dalam konteks guru, tekanan ini muncul dalam bentuk rasa takut dianggap tidak profesional jika tidak mampu mengikuti perubahan.
Positivitas yang Membelenggu
Han menyebut kita hidup dalam masyarakat yang penuh “positivitas beracun”. Semuanya harus tampak baik-baik saja—optimis, fleksibel, dan selalu produktif. Narasi ini terasa sekali dalam dunia pendidikan kita. Guru dituntut “melek teknologi”, tapi pelatihan seringkali seadanya (Dirjen GTK Kemendikbudristek, 2021). Kurikulum katanya fleksibel, tapi implementasinya kaku dan penuh birokrasi. Alih-alih berani bersuara, banyak guru akhirnya menyalahkan diri sendiri saat merasa kewalahan. Mereka mengira ketidakmampuan itu kesalahan pribadi, bukan akibat dari sistem yang memang belum berpihak pada kenyataan di lapangan. Seperti ditekankan oleh Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, sistem yang menindas sering kali membuat individu menginternalisasi tekanan, dan kehilangan daya kritis untuk menggugatnya.
Multitasking dan Hilangnya Makna Mengajar
Han juga mengkritik budaya multitasking yang membuat manusia kehilangan kedalaman berpikir. Hal ini begitu nyata dirasakan para guru masa kini. Di pagi hari mereka mengajar, siangnya ikut rapat kurikulum, malamnya mengisi laporan daring. Waktu untuk benar-benar berdialog dengan murid atau merenungkan metode mengajar yang tepat, makin hari makin sempit. Lama-lama, kegiatan mengajar terasa seperti rutinitas yang mekanis, bukan lagi panggilan jiwa. Dalam bahasa Han (2015), ketika aktivitas hanya menjadi reaksi atas tuntutan eksternal, maka kita kehilangan ruang untuk tindakan yang sungguh-sungguh bermakna.
Berhenti Sejenak dan Menuntut Arah Baru
Lalu, apa jalan keluarnya? Han menyarankan kita untuk menerima kelelahan bukan sebagai tanda kegagalan, tapi sebagai sinyal bahwa sesuatu harus diubah. Guru perlu berhenti sejenak, menilai kembali beban yang mereka pikul, dan mulai berani menuntut sistem yang lebih adil.
Sudah saatnya kita melepaskan label “pahlawan tanpa tanda jasa” yang sering justru jadi alasan pembiaran. Guru harus berani berkata: ini tidak realistis. Teknologi harus digunakan secara kritis, hanya jika benar-benar membantu, bukan sekadar mengikuti tren. Dan yang paling penting, para guru perlu saling mendukung, membangun komunitas yang sehat, bukan kompetisi diam-diam demi sekadar predikat “penggerak”.
Mengembalikan Martabat Guru
Pendidikan bukan lomba lari cepat, tapi perjalanan panjang yang butuh ketahanan dan arah yang jelas. Jika guru terus dipaksa bekerja dalam kelelahan, sambil terus dipuji tanpa diberi perlindungan yang layak, maka hasil akhirnya bukan generasi hebat—melainkan generasi yang diajar oleh guru-guru yang kelelahan.
Perubahan kurikulum tak akan berarti banyak jika kita tak mulai dari satu hal paling dasar: mengembalikan martabat guru sebagai manusia. Bukan mesin, bukan simbol, tapi pribadi utuh yang layak didengar dan dihargai.
Sumber :
Tempo. (2023). “Cerita Guru tentang Beban Proyek Kurikulum Merdeka di Daerah.”
Kompas. (2022). “Guru Honorer dan Beban Administrasi di Era Digitalisasi Pendidikan.”
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek. (2021). Evaluasi Pelatihan Transformasi Digital untuk Guru.
Tinggalkan Komentar